Pages

Kamis, 11 Desember 2014

SEKILAS KISAHTERCIPTANYA SHOLAWAT BADAR | LAGU WAJIB NU | BELAJAR ISTIQOMAH

Sholawat Badar Adalah “Lagu Wajib” Nahdlotul Ulama’. Berisi pujian-pujian kepada Rasulullah saw dan Ahli Badar (sahabat yang  mati syahid dalam perang badar). Berbentuk syi’ir, dinyanyikan dengan lagu yang khas.

Sholawat Badar digubah oleh Kiai Ali Mansur, salah seorang cucu dari  K.H. Muhammad Shidiq Jember tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama. Proses terciptanya sholawat ini penuh dengan misteri dan teka-teki.

Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi poitik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kialah pesaing  utama PKI di tempat itu.

Sambil merenung Kiai Ali terus memaiinkan penanya di atas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sejak masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Kegelisahan Kiai Ali berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya dia di datangi para habib berjubah putih-hiju. Semakin mengherankan  lagi, karena pada saat yang sama istrinya bertemu Rasulullah Saw. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi al-Hadar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab: “itu Ahli Badar, ya akhi!”. Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan sholawat Badar.

Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang ke rumahnya sambil membawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan medatangi orag yang akan punya hajat  mantu. Mereka bercerita, bahwa pada pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih memberitahukan di rumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.

“siapa orang berjubah putih itu?”. Pertanyaan itu terus menggiang dalam benak Kiai Ali tanpa jawab. Namun malam itu banyak orang bekerja didapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.

Menjelang matahari terbit, serombogan habib berjubah putih-hijau dipimpin Habib Ali bin Abdurahman al-Habsy dari kwitang, Jakarta, datang ke rumah Kiai Ali Mansur. “alhamdulillaaah...” ucap Kiai Ali ketika melihat rombongan yang datang adalah para habib yang sangat dihormati keluarganya.

Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik Nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali. “ ya akhi! Mana syiir yang ente buat kemaren? tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini”. Tentu saja Kiai Ali terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karamah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan yang seperti itu bukanlah perkara yang aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kiai Ali mengambil kertas yang berisi Sholawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Secara kebetulan Kiai Alli juga memiliki suara yang bagus. Ditengah alunan suara Sholawat Badar itu para habib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru.

Selesai mendengarkan Sholawat Badar yang dikumandangkan Kiai Ali Mansur, Habib Ali segera bangkit.

“Ya akhi! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Sholawat Badar!” serunya dengan nada mantap. Setelah Habib ali memimpin doa, lalu rombongan itu memohon diri. Sejak saat itu terkenallah sholawat badar sebagai bacaan orang NU untuk membangkitkan semangat  melawan orang-orang PKI.

Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan K.H. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke jalan Kwitang, jakarta. Di forum istimewa itulah Sholawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur.

Wallahu a’lam.

Dikutip dari buku ANTOLOGI NU. (Khalista. H. Soeleiman Fadeli, Mohammad Subhan, S.Sos. 2007)



Tidak ada komentar: